Minggu, 29 Juni 2014

Kebudayaan Suguhan Makanan Tersaji dalam Tiga Gelombang

BAB 1
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.


Begitu banyak kebudayaan di Indonesia, namun kali ini yang akan saya bahas pada makalah ini adalah tentang kebudayaan Suguhan Makanan Tersaji dalam Tiga Gelombang yang berasal dari kota Pontianak. 
B.  RUMUSAN MASALAH
1. Seperti apa budaya Suguhan Makanan Tersaji dalam Tiga Gelombang itu?
2. Bagaimana kebudayaan tersebut dilaksanakan ?
3. Apa nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut ?
C.  TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan di kota Pontianak dan untuk memenuhi tugas Pengembangan Pendidikan IPS di SD
BAB II
PEMBAHASAN

Tiga gelombang yang disebut dengan tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis. Biasanya ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal), buduk” seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik, akan tetapi umumnya dilakukan dengan mengunakan tangan, tanpa sendok. Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua juga dengan kata-kata menunggu gelombang ke dua berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande”, kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap. Pada acara berikut dengan menunggu gelombang ke tiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode” bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan. Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca salawat nabi. Dalam acara makan saprahan tidak bisa dikerjakan sembarangan karena setiap tata cara mengandung kearifan local dan penuh dengan nilai-nilai yang dalam hal ini jika dihayati dan diambil arti atau maksudnya tersebut maka akan bermakna.
Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Secara teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow yakni menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.

Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Acara :
1. Nilai Kebersamaan
Pada dasarnya upacara saprahan itu sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar. Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.
2. Nilai Ketaatan
Nilai ini tercermin adanya dorongan dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.
3. Nilai Religius
Dari pelaksanaan upacara saprahan dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat dari musibah dan bencana.
Pelaksanaan acara saprahan dapat mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kebudayaan Suguhan Makanan Tersaji dalam Tiga Gelombang adalah kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat melayu kota Pontianak. Biasanya disebut dengan tiga sesi hidangan yang berbeda. Hidangan yang disajikan biasanya ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal), buduk” seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik, akan tetapi umumnya dilakukan dengan mengunakan tangan, tanpa sendok. Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula, dengan hidangan berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande”, kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap.


Adapun nilai yang terkandung dalam acara tersebut antara lain nilai kebersamaan , nilai ketaatan dan nilai religious.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar